Minggu, 14 Juni 2015

APA ITU RINDU?

APA ITU RINDU?
“RINDU” adalah sebuah kata yang tidak lazim kita dengar, bahkan diucapkan setiap hari. Bagi mereka yang tengah mengadu nasib di tanah rantau; mengatakan “rindu akan kampung halaman atau bertemu orang tua” serikali terucap. Bagi mereka yang tengah kasmaran, kata RINDU pun seringkali dijadikan status media social dengan segala pola dan bentuknya.
Saya pun jadi teringat akan status seorang sahabat di facebook. Dia menuliskan,  “Lagi merajut RINDU di antara malam yang dingin dan jarak yang terlampau jauh. Semoga RINDU ini selamat sampai tujuan.”  Ada juga seorang sahabat yang mengirim pesan, “RINDU itu seperti bumi menanti hujan, seperti malam menanti datangnya pagi, seperti langit yang diterangi bintang, dan seperti gelap yang mengharpakan cahaya.” Itulah dua contoh, betapa RINDU itu sangat berpengaruh dalam hidup manusia.  Akan tetapi, apakah arti “RINDU” itu sendiri? Dan kenapa ada rasa RINDU?

AKRASIA (KELEMAHAN KEHENDAK)


Kelemahan Kehendak (Akrasia)

Kelemahan kehendak berasal dari kata Akrasia, yaitu a dan kratēs, yang berarti tanpa kekuatan. Pandangan tentang kelemahan kehendak merupakan tanggapan Aristoteles atas pandangan Sokrates. Soktares mengatakan bahwa orang yang melakukan hal yang baik karena orang itu mengetahui apa yang baik. Dalam hal ini, jika orang melakukan yang tidak baik itu karena orang tidak mengetahui apa yang baik. Dengan kata lain, melakukan yang tidak baik karena ketidaktahuan (ignorance). Terhadap pandangan Sokrates tersebut, Aristoteles mengatakan bahwa adakalanya bahwa orang melakukan sesuatu yang tidak baik karena kelemahan kehendak. Artinya bahwa ada peristiwa di mana seseorang telah memutuskan dan mempertimbangkan dengan baik untuk melakukan sesuatu yang baik, akan tetapi karena kelemahan kehendak (akrasia) sehingga dalam pelaksanaannya justru ia melakukan hal yang tidak baik. 
Lebih lanjut Aristoteles menjelaskan bahwa jiwa manusia terdiri atas beberapa bagian. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri juga bahwa antara bagian-bagian itu bisa terjadi konflik. Misalnya, konflik antara pengetahuan dan keinginan. Berdasarkan pengetahuan bahwa merokok itu merugikan kesehatan. Akan tetapi, orang yang mengetahui merokok dapat merugikan kesehatan justru merokok. Jadi, menurut Aristoteles bahwa dalam situasi konkrit kadang-kadang rasio dikalahkan oleh keinginan. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa problema seperti dijelaskan dalam contoh tersebut terjadi karena adalanya kelehaman kehendak (akrasia). 

Filsafat sebagai Ilmu Kritis

Filsafat sebagai Ilmu Kritis

Pengantar
Banyak orang bingung tentang peranan filsafat dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak hanya bingung tetapi juga menilai bahwa filsafat hanyalah ilmu yang penuh dengan argumen-argumen yang membingungkan. Orang berpikir dan mengatakan seperti itu sebenarnya tidak ada salahnya, karena bisa saja terjadi karena orang tidak mengeti tentang filsafat dan peranannya dalam hidup bermasyarakat. Karena itu, Prof. Dr. Frans Magnis-Suseno, SJ memaparkan tentang pentingnya filsafat dalam hidup manusia. Dalam hal ini, yang sangat diperhatikannya adalah pengaruh filsafat dalam hidup manusia dan filsafat sebagai ilmu kritis.
Filsafat dalam Realitas Hidup Manusia
Hampir semua filsafat besar di Barat memiliki minat akan politik. Sebut saja beberapa tokoh seperti Plato mengembangkan filsafat tentang idea-idea karena prihatin dengan keadaan politik di Athena, Aristoteles dengan etikanya yang terkenal sampai sekarang, dan aliran Stoa dengan paham hukum kodrat. Selain itu, dapat juga disebutkan filsuf-filsuf yang menghubungkan teologi dan filsafat Agustinus dan Thomas Aquinas.

Kekerasan pada Anak: Perbuatan Sadis dalam Perspektif Jean P. Sartre

Kekerasan pada Anak:
Perbuatan Sadis dalam Perspektif Jean P. Sartre



Pengantar
            Perbuatan sadis adalah usaha menghilangkan kemerdekaan orang lain dan juga memaksakan korban mengidentifikaskan dirinya dengan daging yang disiksa. Dalam hal ini, puncak kenikmatan yang dialami sang sadis adalah kalau korbannya merendahkan diri, menyangkal kemerdekaannya, dan menyerah. Jika hal itu telah tercapai, sang sadis merasa diri memiliki kuasa dan bisa dengan bebas melakukan sesuatu atas korban, seperti disiksa. Korban di mata sang sadis hanyalah seonggok daging yang siap diolah olahnya tanpa memikirkan kebebasan dan kemerdekaan dalam diri orang itu.

Mengapa simbol itu penting?

Simbol


1.Pengertian simbol
a.       Secara etimologis
Pengertian mengenai simbol berawal dari tradisi Yunani kuno bahwa saat dua orang mengadakan perjanjian, mereka kerap kali memeteraikan perjanjian itu dengan memecahkan sesuatu. Masing-masing pihak memegang sebagian dari pecahan tersebut. Jika salah satu pihak di kemudian hari menghendaki perjanjian itu dihormati, ia atau wakilnya akan mengidentifikasikan diri dengan mencocokkan bagian dari sesuatu yang telah dipecah itu dengan bagian lainnya. Mencocokkan dalam bahasa Yunani adalahsymbollein dan kepingan-kepingan yang dicocokkan disebut symbola. Jadi, secara etimologis kata simbol berasal dari kata kerja Yunani, yaitu symbollein yang berarti “mencocokkan.” Peran simbol di sini adalah jalan untuk menghubungkan atau menggabungkan, menghubungkan dua entitas yang terpisah dan sebagai tanda pengenal atau identitas diri.

Zen Buddhisme: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas

Mencari Makna dari Keberagaman
(Gabriel Holen)
Judul buku          : Zen Buddhisme: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas

Penulis                 : Dr. Mudji Sutrisno, SJ
Penerbit              : Jakarta: Obor, 2004
Tebal buku          :130 halaman
”Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau pasang, siapakah manusia ya Allah sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau memperhatikannya? (Mazmur 8).” Penggalan Kitab Mazmur di atas mengungkapkan kekaguman umat beriman terhadap hasil ciptaan Allah dan sekaligus keterbatasan pikiran manusia untuk memahami kemahakuasaan Allah. Pemazmur tidak serentak mengungkapkan kata-kata indah tanpa suatu dasar pengalaman iman dalam berelasi dengan Allah. Pengalaman iman tersebut merupakan kekhasan dari spiritualitas tertentu. Akan tetapi, kekayaan nilai-nilai spiritualitas tetap tidak mampu memahami kemahakuasaan Allah. Semakin kaya nuansa religius yang dihayati, semakin tidak mampu kata, simbol, dan ekspresi mengungkapkan kelimpahan kasih Allah. Kondisi seperti itulah yang dinamakan paradoks spiritualitas.  

Homili St. Ambrosius dan Praktik di Gereja Hati Kudus Kramat Mengenai Inisiasi Kristen: Sebuah Komparasi

Homili St. Ambrosius dan Praktik di Gereja Hati Kudus Kramat Mengenai Inisiasi Kristen: Sebuah Komparasi

1.   Pengantar

            Secara etimologis kata inisiasi berasal dari kata bahasa Latin “inire” yang berarti memasuki. Jadi, inisiasi berarti memasuki suatu kelompok, bergabung dengan suatu kelompok atau diterima sebagai anggota dalam suatu kelompok.[i] Bergabung dengan suatu kelompok tentu harus memenuhi kriteria atau syarat tertentu. Demikian juga jika dikatakan inisiasi Kristen, yaitu menjadi anggota Kristen harus memenuhi syarat tertentu yang diterima melalui latihan dan pengajaran. Tujuan inisiasi Kristen adalah agar seseorang menjadi Kristen.[ii] Tahap-tahap inisiasi Kristen tampak dalam penerimaan Sakramen Pembaptisan, Krisma, dan Ekaristi. Ketiga sakramen itu disebut sakramen inisiasi. Dengan ketiganya kita masuk ke dalam kehidupan Allah dan semakin mendekati kesempurnaan cinta-Nya.[iii]
            Tulisan ini akan membahas tahap-tahap inisiasi Kristen sebagaimana dipraktikan di Paroki Hati Kudus Kramat dan yang dikotbahkan oleh St. Ambrosius.  Bagian akhir tulisan ini akan memuat komparasi antara keduanya.
2.   Inisiasi Kristen dalam praktik[iv]
            Secara umum praktik insisi di paroki Hati Kudus Kramat mengikuti pedoman umum perayaan inisiasi Gereja Indonesia tahun 1977, yaitu melewati tiga tahap dan empat masa. Tahap I adalah dari simpatisan menjadi katekumen, yaitu bila seorang simpatisan sungguh mau bertobat dan beriman, sehingga diterima oleh umat setempat dalam katekumenat. Dalam suatu upacara simpatisan tersebut dilantik menjadi katekumenat. Tahap II adalah katekumen menjadi calon baptis, yaitu bila iman seorang katekumen sudah berkembang sedemikian rupa, sehingga ia diijinkan menyiapkan diri akan sakramen-sakramen inisiasi. Dalam suatu upacara simpatisan tersebut dipilih menjadi calon baptis. Tahap III adalah calon baptis menjadi baptisan baru, yaitu bila persiapan terakhir sudah selesai dan calon itu diperkenankan menerima sakramen-sakramen inisiasi (pembaptisan, krisma, ekaristi) sehingga ia menjadi anggota penuh dalam Gereja. Sedangkan empat masa inisiasi adalah masa prakatekumenat, masa katekumenat, masa persiapan terakhir, dan masa pendalaman iman (mistagogi).

Kesenjangan Sosial: Kajian atas Film Berdasarkan Perspektif Revolusi Kapitalis (Karl Marx)

Kesenjangan Sosial:  
Kajian atas Film Berdasarkan  Perspektif Revolusi Kapitalis
(Karl Marx)

1.      LATAR BELAKANG

Manusia adalah makhluk yang bebas. Dalam arti manusia bebas menentukan sendiri pilihan hidupnya. Di samping itu manusia juga secara kodrat merupakan makhluk sosial. Karena itu manusia membutuhkan orang lain dalam hidupnya, manusia berinteraksi dengan sesamanya atau manusia tidak bisa hidup sendirian tanpa kehadiran sesamanya. Dalam kehidupan bersama itu dihasilkan beberapa aturan yang mampu mengatur kebebasan manusia sehingga manusia tidak bertindak semena-mena atau tidak betanggung jawab. Akibat selanjutnya, terciptalah lingkungan masyarakat aman, damai dan sejahtera.
Bukti dari pernyataan di atas dapat kita lihat dalam kenyataan sekarang. Apakah benar-benar ada lingkungan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera? Atau apakah kesejahteraan itu hanya milik orang-orang tertentu saja? Kalau hanya milik sekelompok orang, apa penyebabnya dan bagaimana jalan keluar yang ditawarkan? Bagi penulis pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dirangkum dalam sebuah film singkat yang pemeran utamanya Sumantyo. 
Film ini menggambarkan kesenjangan sosial dalam masyarakat dan dampaknya bagi masyarakat sendiri.  Masyarakat bisa menjadi kaya sekali dan sebaliknya miskin sekali. Dalam membahas masalah ini penulis juga dibantu oleh perspektif Karl Marx (Revolusi Kapitalis). Dengan judul tulisan, “Kesenjangan Sosial; Kajian atas Film  Berdasarkan Persektif Revolusi Kapitalis (Karl Marx)”

Rendahkanlah Dirimu

Rendahkanlah Dirimu
(1Korintus 4: 6-21)
1.                  Struktur Teks
Perikop 1Korintus 4: 6-21 membicarakan tentang perpecahan dalam jemaat Korintus. Untuk memahami pengajaran tentang perpecahan tersebut, saya membagi pola pikiran Paulus dalam dua bagian, yaitu 1 Kor 4: 6-13 dan 1 Kor 4: 14-21.
a.      1 Korintus 4: 6-13
Dalam menyampaikan ajarannya, Paulus pertama-tama membicarakan tentang dirinya dan rekan kerjanya, yaitu Apolos. Dalam hal ini Paulus dan Apolos merupakan teladan dalam memahami ungkapan, “Jangan melampaui yang ada tertulis.” (ayat 6) Artinya, Paulus mengajak umat Korintus untuk tidak melampaui (beyond) Kitab Perjanjian Lama.[1] Tidak melampaui dalam arti tidak mengacaukan makna jelas dari Kitab Suci tersebut.[2] Hal itu dikatakan Paulus mengingat masyarakat Korintus menyombongkan diri dengan apa yang mereka miliki, membangga-bangkan pewarta tertentu dan menjelekkan yang lain. “Supaya jangan ada di antara kamu  yang menyombongkan diri dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang lain.” (ayat 6)
Oleh karena itu dalam ayat 7-8 Paulus menyindir umat Korintus dengan kata-kata yang keras. Paulus mengajukan pertanyaan retoris[3], “Siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya? (ayat 7) Paulus mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut mengingat masyarakat Korintus tidak bersyukur atas segala sesuatu yang telah mereka terima dan miliki sebagaimana telah dilakukan Paulus sendiri. (cf: 1 Kor 1: 4). Selain itu, Paulus juga melihat adanya kecongkakan umat Korintus yang merasa solah-olah sudah masuk Kerajaan Allah dan menikmati kebahagian sebagai raja tanpa bantuan para Rasul. (ayat 8).[4]
Selanjutnya, dalam ayat 9-13 Paulus memberikan penjelasan mengenai pertanyaan retoris yang telah disampaikannya. Paulus mengawalinya dengan opini yang menegaskan bahwa Para Rasul telah menerima karunia dari Allah untuk memberitakan Injil kepada semua orang.[5] Kemudian Paulus menjelaskan sikap Para Rasul yang seharusnya diikuti umat Korintus. Paulus mengatakan bahwa Para Rasul memiliki kedudukan yang rendah di dunia, bodoh karena Kristus,  lemah,  hina, lapar, haus, telanjang, dan mengembara. Akan tetapi, mereka melakukan pekerjaan yang berat, memberkati orang yang memaki mereka dan sabar menanggung penganiayaan. Sedangkan umat Korintus yang arif dalam Kristus, kuat, dan mulia tidak mampu melakukan pekerjaan seperti Para Rasul.

Rendahkanlah Dirimu

Rendahkanlah Dirimu
(1Korintus 4: 6-21)
1.                  Struktur Teks
Perikop 1Korintus 4: 6-21 membicarakan tentang perpecahan dalam jemaat Korintus. Untuk memahami pengajaran tentang perpecahan tersebut, saya membagi pola pikiran Paulus dalam dua bagian, yaitu 1 Kor 4: 6-13 dan 1 Kor 4: 14-21.
a.      1 Korintus 4: 6-13
Dalam menyampaikan ajarannya, Paulus pertama-tama membicarakan tentang dirinya dan rekan kerjanya, yaitu Apolos. Dalam hal ini Paulus dan Apolos merupakan teladan dalam memahami ungkapan, “Jangan melampaui yang ada tertulis.” (ayat 6) Artinya, Paulus mengajak umat Korintus untuk tidak melampaui (beyond) Kitab Perjanjian Lama.[1] Tidak melampaui dalam arti tidak mengacaukan makna jelas dari Kitab Suci tersebut.[2] Hal itu dikatakan Paulus mengingat masyarakat Korintus menyombongkan diri dengan apa yang mereka miliki, membangga-bangkan pewarta tertentu dan menjelekkan yang lain. “Supaya jangan ada di antara kamu  yang menyombongkan diri dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang lain.” (ayat 6)
Oleh karena itu dalam ayat 7-8 Paulus menyindir umat Korintus dengan kata-kata yang keras. Paulus mengajukan pertanyaan retoris[3], “Siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya? (ayat 7) Paulus mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut mengingat masyarakat Korintus tidak bersyukur atas segala sesuatu yang telah mereka terima dan miliki sebagaimana telah dilakukan Paulus sendiri. (cf: 1 Kor 1: 4). Selain itu, Paulus juga melihat adanya kecongkakan umat Korintus yang merasa solah-olah sudah masuk Kerajaan Allah dan menikmati kebahagian sebagai raja tanpa bantuan para Rasul. (ayat 8).[4]
Selanjutnya, dalam ayat 9-13 Paulus memberikan penjelasan mengenai pertanyaan retoris yang telah disampaikannya. Paulus mengawalinya dengan opini yang menegaskan bahwa Para Rasul telah menerima karunia dari Allah untuk memberitakan Injil kepada semua orang.[5] Kemudian Paulus menjelaskan sikap Para Rasul yang seharusnya diikuti umat Korintus. Paulus mengatakan bahwa Para Rasul memiliki kedudukan yang rendah di dunia, bodoh karena Kristus,  lemah,  hina, lapar, haus, telanjang, dan mengembara. Akan tetapi, mereka melakukan pekerjaan yang berat, memberkati orang yang memaki mereka dan sabar menanggung penganiayaan. Sedangkan umat Korintus yang arif dalam Kristus, kuat, dan mulia tidak mampu melakukan pekerjaan seperti Para Rasul.
b.      1 Korintus 4: 14-21
Bagian ini merupakan penutup dari surat Paulus. Di dalamnya, Paulus menyampaikan beberapa pemberitahuan sebagai penegasan atas apa yang telah dibicarakannya. Pertama-tama Paulus menyampaikan maksud suratnya, “…bukan untuk memalukan kamu, tetapi untuk menegor kamu…”. Artinya, tujuan surat Paulus adalah hanya mau meluruskan dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan umat Korintus. Hal itu dilakukan Paulus karena ia tidak ingin mencelakakan anak-anaknya yang terkasih.[6] Paulus pun menyebut dirinya sebagai ayah rohani umat Korintus, karena ia melahirkan mereka dalam Kristus.[7] Oleh karena itu sekali lagi Paulus menegaskan, “Turutilah teladanku.” (ayat 16)
Untuk membimbing umat Korintus, Paulus mengirim Timoteus. Paulus menyebut Timoteus sebagai anak yang terkasih dan yang setia dalam Tuhan. Dalam hal ini, Timoteus sama seperti Paulus mendasarkan semua pekerjaannya dalam Kristus. (cf: 1 Kor 16: 10; Flp 2: 20)[8] Akan tetapi, tetap ada yang menyombongkan diri karena mengira bahwa Paulus sendiri tidak datang. (ayat 18) Memang Paulus tidak menjanjikan bahwa ia akan segera ke Korintus karena harus sesuai dengan kehendak Tuhan. (ayat 19) Akhirnya, Paulus  kembali menegaskan bahwa “Kerajaan Allah bukan terdiri dari perkataan tetapi dari kuasa.” Artinya bahwa kekuatan Allahlah yang memampukan seseorang membangun jemaat, bukan sekedar berkata-kata.[9] Oleh karena itu, Paulus memberikan pilihan bebas kepada umat Korintus untuk memilih apa yang mereka kehendaki. (ayat 21)


2.                  Konteks
Pewartaan Paulus dalam 4: 6-21 memiliki hubungan dengan bagian sebelumnya, yaitu bab 1-3. Martin Harun menulis bahwa hamper empat bab (1:10-4:21) digunakan untuk membahas masalah perpecahan atau faksi-faksi yang ada di dalam jemaat Korintus.[10] Umat Korintus terpecah-pecah karena membading-bandingkan dan mengutamakan pewarta yang satu dengan yang lain. “Kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau Aku dari golongan Kefas. Atau Aku dari golongan Kristus.” (1Kor 1: 12). Hubungannya tampak dengan jelas dalam ayat 6, “Supaya jangan ada di antara kamu  yang menyombongkan diri dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang lain.” (1 Kor 4: 6) 
Lalu, bagaimana hubungan antara bab 4 dengan bab 5? Bab 5 tampaknya membicarakan tema yang lain. Martin Harun menulis bahwa bab 5: 1-11:34 memahas pelbagai persolan prilaku jemaat Korintus.[11] “Memang orang mendengar, bahwa ada percabulan di antara kamu, dan percabulan yang begitu rupa, seperti yang tidak terdapat sekalipun di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, yaitu ada oang yang hidup dengan istri ayahnya. (1 Kor 5:1) Jadi, jelaslah bahwa tema yang dibicarakan dalam bab 4 berbeda dengan tema yang dibicarakan dalam bab 5. Bab 4 membicarakan tentang perpecahan sedangkan bab 5 membicarakan prilaku.
3.                  Istilah atau kiasan
a.      Jangan melampaui apa yang ada tertulis (1 Kor 4: 6)
Penyataan “Jangan melampaui apa yang ada tertulis”, rupanya merupakan pepatah Yahudi yang berarti orang hendaknya jangan mengacaukan kejelasan makna Kitab Suci.[12] Dalam hal ini, Paulus menegur jemaat Korintus dengan kata-kata dari Perjanjian Lama. Paulus mengharapkan agar jemaat Korintus tidak melampaui Kitab Perjanjian Lama sebab kitab itu tetap berarti bagi mereka. Grosheide mengatakan bahwa ‘yang ada tertulis’ (which are written) menunjuk pada Kitab Perjanjian Lama.[13] Lebih lanjut Grosheide mengatakan bahwa teks itu merupakan intisari dari etika pengajaran Paulus.[14]
b.      Bodoh oleh karena Kristus (1 Kor 4: 10)
Teks lain yang membicarakan hal yang sama adalah “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.” (1Kor 1:18) “Malahan semuanya kuanggap rugi, karena pengenalan akan Yesus Kristus, Tuhanku, yang lebih mulia dari semuanya.” (Flp 3:8). Jadi, penyataan “bodoh karena Kristus”  yang dikenakan pada para rasul dipahami sebagai orang bodoh di mata dunia yang tidak mengenal Kristus.[15] Dalam hal ini, orang-orang yang tidak mengenal Kristus menilai tindakan para rasul (pemberitan tentang salib) sebagai kebodohan. Oleh karena itu, konsekuensi bagi mereka yang bodoh dalam Kristus adalah hina dalam dunia yang tidak mengenal Kristus.  
c.       Kerajaan Allah bukan terdiri dari perkataan, tetapi tentang kekuatan Allah (1 Kor 4:20)
Maksud pernyataan di atas adalah kefasihan berbicara tidaklah begitu penting untuk membangun jemaat. Kekuatan Allahlah yang merupakan unsurnya yang terdalam.[16] Dalam konteks jemaat Korintus, bahwa ada orang yang membangun jemaat tetapi mengandalkan kekuatannya sendiri dan tidak mengandalkan Allah. Kekuatan Allah merupakan dasar yang memperkokoh persekutuan suatu jemaat. Jadi, pembentukan suatu jemaat tidak bisa tanpa bantuan kekuatan Allah.
4.                  Inti Pesan Paulus
Hemat saya, inti pesan Paulus dalam 1 Korintus 4: 6-21 terdapat dalam ayat 6, yaitu “Jangan melampaui yang ada tertulis, supaya jangan ada di antara kamu  yang menyombongkan diri dengan jalan mengutamakan yang satu dari pada yang lain.” Artinya bahwa pewartaan itu tentu memiliki pendasaran. Pendasaran yang penting adalah Kitab Suci. Sebagaimana Paulus menegur umat Korintus agar tidak melupakan Kitab Perjanjian Lama. Selain pendasaran, obyek pewartaan juga penting diperhatikan. Sebagai orang Kristiani, obyek pewartaannya tentu adalah Yesus Kristus. Oleh karena itu, tidak perlu memilah-milah dan mengutamakan pewarta yang satu dari pada yang lain; yang akhirnya melahirkan perpecahan.
5.                  Pesan yang aktual untuk jemaat Jakarta
Mengutamakan dan membanding-bandingkan pewarta yang satu dengan pewarta yang lain. Hemat saya, hal itu sangat aktual dan penting untuk pewartaan di jemaat Jakarta. Sering terjadi bahwa umat memilih-milih dan membandingkan romo yang satu dengan yang lain. Ada jemaat yang menyukai romo tertentu karena kotbahnya. Ada yang menyukai romo tertentu karena kecakepannya. Bahkan ada yang mengatakan, “Romo Gue.” Intinya bahwa gejala membanding-bandingkan romo yang satu dengan lain sering muncul di antara umat dengan kriteria atau alasannya masing-masing. Padahal semua romo sama-sama mewartakan Kristus.
Paulus menjadi pembimbing rohani atau ayah rohani yang melahirkan jemaat Korintus dalam Kristus. (1 Kor 4:15) Hal yang menjadi perhatian saya di sini adalah menjadi pembimbing rohani yang melahirkan jemaat dalam Kristus. Banyak romo, bruder, dan suster di Jakarta yang menjadi pembimbing rohani orang tertentu. Akan tetapi, tidak semuanya menghasilkan buah sebagaimana sebagaimana dikatakan Paulus di atas. Ada romo, suster, dan bruder yang kemudian meninggalkan jalan hidupnya sebagai imam, biarawan dan biarawati karena masalah tertentu dengan anak bimbingannya.  
6.                  Pertanyaan-pertanyaan
1.      Apa yang menjadi spirit Paulus dalam mewartakan Injil?
2.      Jelaskan maksud pernyataan, “Jangan melampaui yang ada tertulis.”!
3.      Bagaimana cara Paulus menegur jemaat Korintus?
4.      Jelaskan maksud pernyataan, “Kami bodoh oleh karena Kristus”!
5.      Jelaskan maksud penyataan yang ada dalam 1 Kor 4:20!
6.      Jelaskan hubungan antara Paulus dengan Timoteus!
7.      Pada bagian akhir (ayat21) Paulus mengajukan pilihan bebas kepada jemaat Korintus. Apakah hal itu menunjukkan ketidaktegasan sikap Paulus? Jelaskan!
8.      Bagaimana Paulus menggambarkan relasinya dengan umat Korintus?
9.      Apakah alasan dasar Paulus menyindir umat Korintus dengan keras?
10.  Jelaskan pandangan Paulus mengenai para rasul!
11.  Jelaskan kepribadian Paulus berdasarkan 1 Kor 4: 6-21!
12.  “Kata-kata ini kukenakan pada diriku sendiri dan Apolos.” Jelaskan maksud penyataan Paulus tersebut?
13.  Bagaimana Paulus menilai perpecahan yang terjadi dalam jemaat Korintus?

Kepustakaan
Grosheide, F.W. The New International Commentary on The New Testament: The First Epistle To The Corinthians. Michigan: Grand Rapids, 1979.
Harun, Martin. Surat-Surat Paulus: Pengantar, Tafsir, Teologi. Jakarta: STF Driyarkara, 2009.
LBI. Surat-Surat Paulus 2. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Purnomo, Albertus. “Diktat Kuliah Tafsir Paulus”.



[1] F.W Grosheide, The New International Commentary on The New Testament: The First Epistle To The Corinthians (Michigan: Grand Rapids, 1979), hlm. 103.
[2] LBI. Surat-Surat Paulus 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 33.
[3] Grosheide, op.cit., hlm. 105.
[4] Lbi, op.cit., hlm. 33.
[5] Grosheide, op.cit., hlm. 106.
[6] LBI, op.cit.,  hlm. 34.
[7] LBI, ibid.
[8] Grosheide, op.cit., hlm. 114.
[9] LBI, op.cit., hlm. 35.
[10] Martin Harun, Surat-Surat Paulus: Pengantar, Tafsir, Teologi (Jakarta: STF Driyarkara, 2009), hlm. 88.
[11] Harun, Ibid., hlm. 89.
[12] LBI, op.cit., hlm. 33.
[13] Grosheide, op.cit., hlm. 103.
[14] Grosheide, ibid., hlm. 104.
[15] Grosheide, ibid., hlm. 107.
[16] LBI., op.cit., hlm. 35.